Selain pesta tahun baru, yang marak di penghujung tahun seperti saat ini adalah orang-orang yang galau karena tahun udah berganti tapi status mereka belum juga berganti dari single menjadi married, terutama cewek-cewek (which is understandable, this country can be too judgemental towards women). Sometimes, para galauers ini malah di range umur yang riddiculous untuk galau, alias masih terlalu muda, like 18-22 tahun.
Cobaan para galauers ini diperparah dengan maraknya tren nikah muda (yang terlalu di-romaticized and overrated) di beberapa tahun belakangan ini, apalagi dengan hebohnya sosmed dan influencers (yang mana juga korban ‘the belom-nikah-insecurity’). Di saat tulisan ini dibuat, ada lagu yang lagi ngetren yang terlalu me-romanticised getting married yang ternyata penyanyinya malah belom lulus SMP bok! *hint: anak artis. Ngakak gw sumpah, waktu gw seumur dia gw masih sibuk ngumpulin komik dan nontonin rekomendasi “100 movies you should watch before you die”.
Gw udah melewati umur dimana temen-temen gw (dan kadang juga gw sendiri) meng-kode keras di sosmed tentang the desperation buat nikah, kalo ngeliat ke belakang rasanya pingin lempar sendal ke diri sendiri!). Beberapa temen yang seumur gw atau lebih tua, masih ada yang berkelakuan seperti ini. Dan sekarang junior-junior gw yang jauh di bawah gw—bahkan dedek-dedek yang dulu murid gw pas gw ngajar bahasa Inggris waktu kuliah—sekarang udah bertingkah seperti itu, membuat gw rasanya kok tua banget, padahal gw masih 29 tahun juga bok! Well, di negara kita, over 25 y.o is treated like ‘lansia’, so kalo gw lansia, lo yang baca tulisan ini di atas 35 tahun, bisa dianggap ‘arwah’ kali ya, dan yang over 45 ‘leluhur arwah’, lol!
Saat ini gw masih juga belom nikah, walau pun bulan November kemaren gw baru saja engaged dan berencana nikah di tahun depan. I am in a very very happy relationship right now dan gw harap bisa menghabiskan umur dengan orang ini. However, gw cuma bisa berharap dan berusaha yang terbaik, dan gw mengatakan ini bukan karena gw pesimis tentang hubungan gw, tapi karena I’ve seen life and understood life more than I used to. Gw udah liat orang diselingkuhin atau ditinggal mati pasangannya (bahkan di umur 20an tahun). Atau yang depresi dan cerai karena gak punya anak dan lain-lain, which are just the consequences of being in a relationship, kalo gak jadi nikah ya jadi mantan, kalo gak seumur hidup ya sejenak hidup. Either dikasih punya anak, atau gak punya anak. Entah end up jadi single parent, atau punya pasangan membesarkan anak bersama. In the end, there are things that are beyond our control. Gw gak bisa menyetir perasaan dan pilihan orang lain, dan kita gak tau sepanjang apa umur kita/ pasangan kita. Menikah bukan berarti the end of problems, because life has layers of layers of problems, dan galau cuma karena belum nikah adalah gak ada gunanya.
Walaupun hidup udah 29 tahun, gw baru bener-bener ‘hidup’ itu 4 tahun belakangan ini. Umur 0-17, anggap aja masih anak-anak. Umur 18-24 tahun adalah masa-masa terbodoh dan tersia-tersia dalam hidup gw. Umur 22-24 menurut gw adalah puncak kebodohan gw yang semuanya berasal dari kesalahan gw yang gw yakin banyak juga dilakukan orang lain; kesalahan gw adalah gw mencari orang lain atau sesuatu di luar diri gw sendiri sebelum gw berusaha mencari diri gw sendiri. Dari kecil, di negara kita, adalah umum kita cuma diajarin cari kerja yang begini, cari suami yang begini. Jadi gw saat itu hanya belajar menilai orang atau hal lain, tapi gw gak bisa menilai diri gw sendiri. Efeknya, gw jadi gak punya rencana untuk diri gw sendiri. Rencana gw saat itu ya seperti yang nyokap dan tante-tante gw wejangankan, “ikutin suami aja.” So, saat itu gw berfikiran bahwa rencana hidup gw saat itu ya di hold-on sampe gw punya suami, dan gw hanya akan ‘tag-along’ di rencana dia. Makanya plan hidup gw saat itu ‘adjustable’ tergantung pasangan gw gimana, ujung-ujungnya hidup gw saat itu gak ada pencapaian. Mungkin cuma satu yang bisa gw banggakan, yaitu online shop hasil kerajinan gw yang saat itu bisa dibilang sukses dan disitu cikal bakal gw belajar ngehasilin duit dari internet.
Ketika hidup gak ada pencapaian dan hubungan juga putus di tengah jalan, sedihnya berlipat-lipat, kan. Tapi kebegoan gw yang nomor dua adalah mencari shortcut untuk mengatasi kesedihan gw tanpa meluangkan waktu untuk mencari penyebab utama kenapa kok gw bisa sesedih ini. Semakin sering putus rasanya kok semakin sedih, bukannya makin terbiasa. Sampe akhirnya di umur 25 tahun, pasangan gw saat itu yang mana bisa dibilang first love gw (walopun udah pacaran sebelum-sebelumnya, baru kali itu gw ngerasain apa yang gw rasa sama dia) mutusin gw via telpon padahal dua hari sebelumnya gw baru aja ketemu dia (saat itu gw LDR karena gw pindah kerja) dan he acted normal when we met, so that was quite a shock.
Gw orangnya gak percaya sama yang namanya recycled relationships, alias balikan sama mantan. Sesayang apapun, kalo putus ya putus, ‘break up’ and ‘love’ are not the words you should throw up easily, otherwise kata akan kehilangan makna dan kalo lo ngasih orang kewenangan untuk memperlakukan lo seperti itu sekali aja, they will learn that they can treat you like that many times in the future. Also, I dont befriend exes, banyak orang yang berteman dengan mantan mereka, I dont do that because it will cause too much unimportant drama, and with my exes, we always started as lovers, so I dont know how to be friends with them coz we’ve never been friends since the beginning. Jadi saat itu gw sedih with the fact that I would no longer have time together with him dan ada rasa amarah saat itu.
Gw bukan marah karena dia mutusin gua. Again, I always believe that we can’t own anybody. Gw juga bukan marah karena diputusin via telpon. Tapi gw gak tau gua ini marahnya kenapa dan sama siapa, karena gw juga gak bisa marah sama pilihan dia kan. Sampe akhirnya gw sadar alasan rasa marah gw itu apa saat gw liat dia berhasil ngelanjutin tujuan-tujuan hidupnya, disitu gw ngerasa, “Anjir, hidup dia berlanjut sedangkan hidup gw gini-gini aja. Udah 25 tahun tapi hidup gw kayak tokai, ngambang aja tanpa tujuan, cuma nunggu sampe hanyut. Bener-bener kayak tokai!”
Disitu gw took a step back instead of keep moving dengan shortcuts seperti yang gw lakukan sebelumnya. Untungnya gw ini punya blog dari tahun 2010 dan di setiap akhir tahun gw bikin reflections of my years, disitu gw juga bisa lihat bahwa gw saat itu gw gak gak puas dengan hidup gw tapi gw gak melakukan apa-apa, just repeating the same thing every year. Padahal kalo di liat dari luar keliatannya gw aman-aman aja; nilai gw di kuliah termasuk tinggi di angkatan gw, gw juga langsung dapet kerja di tempat yang bagus. Ada kata-kata di tulisan blog gw yang jadi clue; “I’m not saying that my life is bad, but I wish it could’ve been better”. DANG!! Disitu gw sebenernya udah ngerasa gak puas, tapi yang bisa gw consult juga gak ada. Gw gak tau temen-temen gw ngerasain quarter-life crisis juga apa gak, kalo pun iya, berarti ya kita sama aja confuse-nya. Dan temen-temen gw juga pada sibuk nikah dan punya anak, so mereka juga tersibukkan dengan hidup kayaknya. Gw juga gak punya sosok perempuan yang bisa kasih tau gw apa yang gw tahu saat ini. Perempuan yang lebih tua dari gw di lingkungan gw ya mayoritas sama aja pemikirannya seperti nyokap dan tante-tante gw. Sosial media juga gak membantu karena tren nikah muda makin membanjir.
It was not easy karena being vulnerable is still considered a shame in society, gw juga gak tau mana temen mana lawan. And the truth is, banyak orang yang senang ketika lihat kita susah, apalagi kalo lo cewek dan berani beropini.
Umur 25 tahun was like a wake-up call for me. Gw memang gak langsung menemukan jawabannya gw mau jadi apa dan harus bagaimana dalam sekejap and I am in fact still experimenting, but at least, all the efforts, mistakes, trials and errors after that, I did for myself, to find who I am, to grow myself to my true potential, bukan untuk orang lain.
When I started doing things for my self—no more for pleasing other people, like partner or parents—I don’t feel bad anymore, when I failed, it’s not a failure, it’s just a learning curve that I had to go through. There were unlucky experimental years, dimana usaha yang gw coba rasanya gagal dan tabungan gw semakin lama semakin defisit but I was okay with that, it’s not a wasted time, it’s a learning time, what could I lose anyway? Toh gw masih single, gak punya anak dan beban keluarga, kalo pun gw gagal, ya gw gak ngerepotin anak/ suami gw.
Di umur 26 tahun, gw mulai ikutin kegiatan ini-itu, coba-coba hal baru, sometimes I failed, sometimes I nailed it, just to find who I am. Gw juga mengurangi kontak dengan orang-orang yang pola fikir dan kelakuannya toxic. Just because those people have been in your life for long enough, doesnt mean they are good to keep in your life, mau temen dari SD/ SMP/ SMA/ kuliah kek, mau sodara kek, kalo toxic ya toxic.
Gw gak lagi ngikutin rencana orang lain. Dulu gw percaya bahwa cinta butuh pengorbanan, now I dont anymore. Yang namanya jodoh, ya jodoh aja, it will happen effortlessly. When someone’s really meant for you, it will not feel like a sacrifice, for you and him/ her, because you want to make him/ her happy willingly, and vice versa. ‘Pengorbanan’ sounds like a burden, and I dont want to be a burden nor burdened.
Di umur awal 20an dulu, kalo misalnya pasangan gw harus pindah kerja demi karirnya entrebe-entrebu lah, bakalan drama. Now, I don’t want to change my plans for somebody else and I dont want the other person to change theirs for me. I’ll chase my dreams and you chase yours, if we’re really meant for each other, our ways will meet together. Dengan tunangan gw ini, dulu, gw juga kasih tau dia that for me at that time a company would be nice but a relationship was not my priority. Justru dia bersyukur saat itu gw bilang duluan karena dia takut cewek Indonesia suka easily attached dan langsung minta nikah—from his friends’ experience, my fiance is a foreigner btw. Dia juga saat itu karirnya lagi naik dan very close to getting what he’s always wanted, so dia juga bilang that for him at that time he had other priority that he’d planned for a long time. I didn’t feel offended at all, karena gw mau cowok yang punya drive dalam hidupnya. Hal itu juga gw terapkan buat diri gw. I want to be known for the person I am, not the person I am with.
Gw juga mengerti penyebab banyak cewek-cewek over 25 y.o galau adalah karena takut udah gak cantik lagi dan takut disaingin cewek-cewek yang lebih muda. Dulu juga gw pernah ngerasa begitu di umur awal 20an. Kalo emang capek takut gak cantik lagi, solusinya ya jangan cuma ngandelin fisik doang, improve yourself. Hidup bukan beauty peageant and peagantry is most of the time bullshit. Be the real beauty, be the real you, be the person that you needed when you were younger.
When you’ve started to love yourself, you’ll be able to love another person sincerely. Menurut gw, di hubungan-hubungan gw sebelumnya, gw berada dalam hubungan itu bukan karena gw benar-benar cinta, tapi karena rasa takut, takut gak jadi atau telat nikah, takut nikah tua lah, takut ketinggalan lah, takut ngecewain orang lain, dll. Sering kali kita menamai ‘cinta’ pada sesuatu yang bukan cinta. Lawan dari cinta bukan benci, tapi rasa takut. Jealousy, dengki, hatred adalah penjelmaan dari rasa takut. Being able to see and love another person as he/ she is is REALLY a beautiful thing and you won’t be able to experience it kalo kita cuma sibuk galau-galauan gak jelas.
Ketika lo udah bisa berhenti galau, lo gak lagi takut tiap kali tahun baru atau ulang tahun. Dulu tiap tahun berganti gw rasanya sedih, karena rasanya gw belum menjadi/ melakukan apa-apa. But when you live your life to the fullest, bahkan pertanyaan “kapan nikah” atau “umur berapa” pun will not offend you. I’m not offended if people ask me “kenapa belom nikah” atau ceramah tentang nikah lah, because I’ve had so many joys in my life, those kinds of questions and ignorance can’t bring me down. If you’re scared of getting old, then stop being old, BE GOLD instead.
It’s amazing to see dalam empat tahun how I’ve become closer to be the person that I’ve always wanted which was forgotten for years. I’ve learned many skills and mostly self-taught, I’ve done many things, I’ve worn many hats, I’ve failed, I’ve risen, I’ve broken stereotypes that my parents, family and friends used to tell me. I will never trade who I am for anything or anyone. Trust me, it’s easier to find another person than to find yourself. To find other person, you just need to download an app and swipe left and right. To find my self, I had to do trials and errors, I had to be okay with losing people and things, etc.
Alasan gw bikin tulisan ini, selain karena dulu gak ada yang ngasih tau gw tentang hal ini, tapi juga karena tulisan-tulisan gw sebelumnya telah membawa orang-orang yang menemukan gw via internet dan curhat tentang masalah yang sama. Dulu gw nulis di saat gw masih terpuruk, setelah itu I’ve gotten busier karena kerja keras gw mulai berbuah, jadi gak ada updatenya. So if you’re reading this and you feel exactly like how I felt before, I want to tell you that THINGS WILL GET BETTER. Just be galau for something worth to be galau about, kalo bisa malah jangan galau sama sekali, because Y.O.L.O sis/bro!
0 Comments